Jadi pendeta itu berusaha untuk menghentikan teriakan dan tangisan yang sedemikian hebat dan menyayat itu. Setelah menunggu beberapa saat dan jemaat masih tetap berlaku demikian, maka Tuan W mengajak jemaat untuk berdoa. Selanjutnya, kami turun dari mimbar dan berbicara dengan orang-orang tersebut. Beberapa orang di tempat yang satu dan beberapa orang di tempat yang lain - dan kuasa Allah yang begitu dahsyat dan ajaib itupun dinyatakan. Banyak jiwa dibangunkan kembali pada malam itu. Dan sukacita serta kelegaan terpancar dari wajah mereka yang baru beroleh penghiburan - mereka yang telah menerima kekuatan dan kepastian dari Allah sendiri. Kami menyanyikan sebuah pujian dan berdoa, sebelum kemudian persekutuan itu dibubarkan"
Dampak utama khotbah Edwards itu adalah hati banyak orang yang sebelumnya keras itu menjadi begitu diubahkan sampai-sampai mereka "berlutut dengan suatu kesadaran yang besar akan dosa-dosa mereka dan ancaman yang diakibatkan oleh dosa-dosa mereka itu". Kuasa Roh Kudus lah yang telah melembutkan hati mereka bukan kefasihan lidah Jonathan Edwards. Dalam kenyataannya, Edwards tidak menampilkan gaya berkhotbah yang berkobar-kobar ketika menyampaikan khotbahnya di Enfield; sebagaimana dilukiskan oleh Davidson; Edwards "terus menerus menatap tali lonceng di belakang, berbicara dengan nada yang datar, dan sama sekali tidak bergaya retoris atau pun oratoris". Kabarnya, Edwards sedikit sekali melakukan gerakan tubuh, dan ia terus membacakan teks khotbahnya, yang diletakkannya di atas mimbar dalam jarak yang begitu dekat dengan dirinya.
(dikutip dari buku "Orang Berdosa di Tangan Allah Yang Murka" [Surabaya: Momentum, 2004])