Rabu, 30 Januari 2013

John Stott: Sentralitas Yesus (1)

"Tidak peduli apapun yang mungkin dipikirkan atau diyakini setiap orang secara pribadi tentang Dia, Yesus dari Nazaret selama ini adalah sosok yang dominan dalam sejarah budaya Barat selama hampir 20 abad". Begitulah yang ditulis oleh Jaroslav Pelikan pada awal bukunya yang bercakupan luas yang berjudul 'Jesus Through the Centuries'.

Pertama, Yesus adalah pusat dari sejarah. Sedikitnya satu porsi besar umat manusia terus membagi sejarah menjadi Sebelum Masehi dan Sesudah Masehi dengan merujuk kepada kelahiranNya. Pada tahun 2000, populasi dunia mencapai 6000 juta jiwa, sedangkan jumlah orang Kristen menjadi 1700 juta jiwa atau sekitar 28%. Maka hampir sepertiga umat manusia mengaku mengikut Dia.

Kedua, Yesus adalah fokus dari Kitab Suci. Alkitab bukanlah kumpulan acak dari dokumen-dokumen agama. Seperti yang Yesus sendiri katakan, "Kitab-Kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku" (Yoh. 5:39). Dan para cendekiawan Kristen selalu mengakuinya. Misalnya, Jerome, bapa gereja yang besar dari abad ke empat dan kelima, menulis bahwa "tidak mengenal Kitab Suci sama dengan tidak mengenal Kristus".

Pada abad keenambelas, patut dicatat bahwa baik Erasmus dari Renaissans maupun Luther dari Reformasi sama-sama menekankan sentralitas Kristus. Alkitab "akan memberikan Kristus kepada anda" tulis Erasmus "dalam suatu keakraban yang begitu erat sehingga Dia bahkan akan kurang terlihat oleh anda jika Dia berdiri di depan mata anda". Demikian pula halnya dengan Luther, dalam 'Lectures on Romans', menjelaskan bahwa Kristus merupakan kunci ke Kitab Suci. Dalam komentarnya tentang Roma 1:5, dia menulis: "Di sini pintunya didorong agar terbuka lebar bagi pemahaman terhadap Kitab Suci, yakni bahwa segala sesuatu harus dipahami berkaitan dengan Kristus". Dan kemudian ia menulis "bahwa keseluruhan Kitab Suci berkenaan hanya dengan Kristus di semua bagiannya".

bersambung...

(dari buku "Kristus Yang Tiada Tara")