Ketiga, mengapa kita menginjili? Karena desakan Roh Kudus di hati kita masing-masing. The constraint of love; the Holy Spirit enforce us, encourage us, empower us, and strengthen us to evangelize others [dorongan cinta kasih, Roh Kudus memberi kuasa kepada kita, memberi keberanian kepada kita, menggerakan kita, menguatkan kita untuk memberitakan Injil kepada orang lain].
Roh Kudus selalu memberi kita dorongan untuk mengabarkan Injil. Itulah yang Paulus katakan, karena begitu besar dorongan kasih-Nya yang sudah mati bagi kita, maka aku mati dan hidup bagi-Nya. Jadi, kita rela mati dan hidup bagi Kristus karena Dialah yang terlebih dahulu mati bagi kita.
...
Keempat, mengapa kita mengabarkan Injil? Karena merasa hutang terhadap jiwa-jiwa yang tersesat. Waktu kau tanyakan terhadap orang yang sedang berjalan: "mau ke mana?" pasati dijawab: mau ke office; atau ke sekolah atau ke pasar atau mencari kawan atau menghadiri pertemuan bisnis... Tapi coba tanyakan setelah hidup ini berakhir, mereka kaan ke mana? Pasti mereka tidak tahu bahwa mereka sedang mengarah ke neraka.
7 Januari 1957, kali pertama Tuhan menggerakkan hati saya jadi hamba-Nya, saya baru berusia 17 tahun. Hari itu, saya berjalan di kota-kota Surabaya. Saya memandang ke atas, di mana terdapat langit yang biru (tapi sekarang langit di kota Jakarta abu-abu, bukan biru), awan yang putih, burung-burung terbang ke sana- kemari, angin sepoi-sepoi, membuat daun yang hijau di pohon-pohon bergoyang. Waktu saya melihat ke jalan, di mana terdapat banyak orang-orang yang mondar-mandir, mereka sibuk, saya mendengar suatu suara yang berkata di hati: "do you know, that they are facing hell; they are heading to the eternal punishment; they are perished". Tahukah kau bahwa orang-orang itu sebenarnya bukan berjalan mengarah ke kantor atau ke sekolah atau ke pasar atau ke ... mereka mengarah ke neraka. Saya terkejut. Itulah kali pertama saya menyadari semua orang mengarah ke neraka, menerima hukuman Allah yang kekal. Siapa yang mengasihi mereka, mau mengabarkan Injil kepada mereka? Maka saya berkata: Tuhan, kalau Kau mau memakai ku, aku mau membawa mereka berbalik arah, percaya Tuhan Yesus Kristus, jadi pengikut-Nya".
Tapi dua hari kemudian, saya datang ke satu kebaktian dengan rasa terpaksa. Karena sesungguhnya saya tak ingin jadi hamba Tuhan. Tapi Roh Kudus bekerja dan berkata, "kau harus taat", membuat saya merasa kursi di ruang kebaktian itu begitu keras; begitu tak nyaman. Karena saya sadar, kebaktian itu pasti ditutup dengan panggilan hamba Tuhan. Tapi suara itu berbicara dalam hati saya. Dan setelah satu jam mendengar khotbah, saya tahu saya tak mungkin lari dari panggilan untuk menjadi hamba Tuhan mengabarkan InjilNya. Mak asaat panggilan berlangsung, ornag-orang maju ke depan, air mata terus mengalir; tak henti-hentinya. Dan sungguh seumur hidup; sampai hari ini saya tak pernah mengalirkan air mata sebanyak hari itu 9 Januari 1957, membasahi bagian depan pakaian saya. Dari mana datangnya air mata sebanyak itu? Saya tak tahu. Dan mengapa air mata mengalir terus tak dapat distop? Saya juga tak tahu. Hanya tahu, sejak hari itu, tak pernah barang satu detikpun dalam hidup saya meragukan statusku sebagai hamba Tuhan dan tak pernah ingin tinggalkan panggilanNya. Karena saya tahu, jadi hamba Tuhan adalah jalan hidpku.
...
Mulai hari di mana saya menyerahkan diri jadi hamba Tuhan, say amembeli enam ribu lembar traktat. Dan berjanji pada Tuhan, satu tahun paling sedikit membagikan 5000 lembar traktat dan menginjil orang-orang yang lalu lalang di jalan.
...
(dari Ringkasan Khotbah 2011 GRII Kemayoran)