Seperti Yesaya, Zefanya telah menyaksikan kebesaran Allah dan telah diubah oleh kebesaran itu. Ia melihat bahwa Allah tidak dapat membiarkan kesombongan dan harapan satu-satunya bagi umat itu terletak dalam pengakuan akan kelemahan mereka. Kesombongan berakar dalam sifat manusia, termasuk juga Yehuda (Zef. 2:3), Amon, Moab (Zef. 2:10) dan Niniwe. Niniwe dijadikancontoh keangkuhan yang membual "Hanya ada aku dan tidak ada yang lain" (ay 15). Pemberontakan seperti itu, yaitu pernyataan ketidaktergantungan secara spiritual kepada Allah, adalah dosa yang paling parah. Mereka yang terlepas dari murka Allah adalah orang-orang yang rendah hati "mencari perlindungan pada nama TUHAN" (Zef 3:12).
Dengan menggambarkan Tuhan memegang obor di tanganNya yang menggeledah Yerusalem dan menemukan "orang-orang yang telah mengental seperti anggur di atas endapannya", Zefanya memberi peringatan keras tentang bahaya rasa puas diri (Zef 1:12-13). Para warga kota yang bersikap masa bodoh ini begitu lamban dan tidak berjiwa, bagaikan anggur yang telah mengendap (lihat Yer. 48:11-12).
Tidak ada apapun (apakah itu bahaya yang mengancam mereka sendiri atau teman-teman mereka) yang dapat menggerakkan mereka dari kehidupan merkea yang santai. Mereka menolak untuk mengembangkan rencana Allah dan menghentikan korupsi sehinga mereka menerima juga hukuman yang diperuntukkan bagi para pemberontak yang lebih aktif: "maksud-maksud yang besar dari Allah dan manusia tidak terkalahkan oleh serangan Iblis yang hebat, tetapi oleh beribu-ribu orang kecil yang lamban, bergerak perlahan-lahan dan acuh tak acuh. Maksud-maksud Allah tidak pernah gagal karena diserang, melainkan karena tidak dihiraukan" (Smith 1956, 4; hal. 573).
(dari buku "Pengantar Perjanjian Lama 2")