Rabu, 01 April 2015

John Piper: Kasih Kristus Yang Tak Terselami

Banyak orang saat ini mengatakan bahwa Yesus tidak berperasaan dan tidak mengasihi karena membiarkan Lazarus mati. Dan mereka akan menambahkan kritik ini: yaitu bahwa Ia arogan dan menyombongkan diri karena Ia termotivasi oleh hasrat untuk mempertontonkan kemuliaan-Nya sendiri.

Hal ini memang memperlihatkan bahwa buat kebanyakan orang, nilai kehidupan yang bebas rasa sakit itu jauh melampaui kemuliaan Allah. Bagi kebanyakan orang, kasih adalah peletakan nilai kemanusiaan dan kesejahteraan manusia pada tingkat tertinggi. Dengan demikian tidaklah masuk akal bagi mereka bila dikatakan bahwa tindakan Yesus adalah perilaku mengasihi.

Namun marilah kita mempelajari dari Yesus apakah itu kasih dan apakah kesejahteraan kita yang sesungguhnya. Kasih adalah melakukan apa saja yang Anda butuhkan untuk menolong orang melihat dan mencecap kemuliaan Allah dalam Kristus untuk selama-lamanya. Kasih menempatkan Allah di pusat. Meniru Yesus dalam hal ini tidak berarti mengasihi dengan mempertontonkan kemuliaan kita. Meniru berarti kita memperlihatkan kemuliaan-Nya.

Yesus memperlihatkan kemuliaan diri-Nya dan Bapa-Nya. Kita harus memuliakan Yesus dan Bapa-Nya. Yesus adalah Pribadi di alam semesta ini yang untuk-Nya ekaltasi diri merupakan kebajikan tertinggi dan tindakan kasih terbesar. Kita bukanlah Allah. Karena itu, bukanlah kasih namanya jika kita mengarahkan orang lain kepada diri kita sebagai landasan bagi sukacita mereka. Yang seperti itu adalah sebuah gangguan yang tidak berdasarkan kasih. Kasih berarti menolong orang lain melihat dan mengecap Kristus untuk selama-lamanya.

(dari buku "God is the Gospel" [Malang: Literatur SAAT])

Kamis, 19 Maret 2015

Jangan Mengeluh Yah...

Mari kita jangan mengeluh untuk apapun.

Mengeluh berarti...

Kita tidak percaya pemeliharaan Allah dalam hidup kita...

Kita tidak bersyukur untuk berkat-berkat Allah yang sudah kita terima...

Kita hanya mau menerima yang enak tetapi tidak mau menerima yang sulit...

Kita tidak mau belajar sabar dalam kesulitan...

Kita tidak menghargai kebaikan-kebaikan Allah yang jauh lebih banyak dari kesulitan kita...

Mari kita belajar bersyukur dalam segala keadaan...

Senin, 16 Maret 2015

Pdt. Stephen Tong: Pengantar Teologi Kontemporer

Pada zaman Pencerahan di Eropa, telah timbul aliran empiriksisme di Inggris dan aliran rasionalisme di Prancis, Belanda dan Jerman. Kedua aliran itu sangat memukul kepercayaan-kepercayaan agama tradisional pada waktu itu. Oleh karena itu, kepercayaan agama sangat bergantung kepada wahyu Allah, sedangkan Pencerahan menganggap manusia sudah mencapai kedewasaan untuk mengethaui segala bidang pengetahuan.

Dengan kata lain, mereka berpendapat bahwa tanpa penyataan Allah, yaitu hanya melalui rasio, sudah cukup bagi manusia untuk dapat menjawab segala persoalan dan menemukan segala kebenaran. Apabila pernyataan itu benar, maka suatu pertanyaan yang besar adalah "di manakah tempatnya kekristenan?" Berkenaan dengan hal ini, maka ada tokoh-tokoh pemikir yang berusaha menolong atau menyelamatkan kekristenan dari kesulitan-kesulitan semacam itu.

Kant menggolongkan kekristenan dan nilai kekristenan di bawah wilayah moral, sedangkan Schleiermacher menggolongkan kekristenan di bawah wilayah perasaan dan Albrect Ritschol menempatkan kekristenan di bawah nilai. Persamaan dari tokoh-tokoh itu, termasuk Adolf von Harnack dan Hermann, ialah meniadakan kebutuhan wahyu sebagai sumber dasar dan standar untuk mengenal Allah.

Itulah bahaya yang mengancam teologi pada abad ke 19, namun orang yang sungguh setia kepada Tuhan mengetahui bahwa kemungkinan untuk mengenal pengetahuan dalam dunia alam semesta telah diberikan oleh Tuhan pada waktu Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, di mana salah satu aspek yang diberikan adalah ialah sifat rasio, sehingga manusia dapat menemukan pengetahuan alam. Tetapi dalam hal pengenalan terhadap Allah, manusia hanya diberi kemungkinan untuk mengetahui keberadaan-Nya, sedangkan untuk mengetahui rencana Allah, keselamatan Allah, manusia tidak dapat mengetahuinya selain melalui pernyataan Allah.

Dengan demikian pengenalan terhadap Allah merupakan suatu ilmu khusus yang melampaui kemungkinan manusia untuk mengenal Allah, di mana untuk pengenalan terhadap Allah membutuhkan suatu keharusan yaitu Allah yang menyatakan diri kepada manusia.

Pada abad ke 20, berdasarkan pemikiran di atas, Karl Barth dan Brunner menganggap penyataan adalah kunci untuk mengenal Allah. Penyataan ini sangat serupa dengan teologi Reformasi. Teologi perlu memutar arah dan membanting stir sehingga bisa mendapatkan suatu dasar yang lebih kuat lagi. Namun konsep Allah dan konsep penyataan dari Karl Barth sangat terpengaruh oleh Soren Aaby Kierkegaard dari Denmark. Oleh karena itu, dalam usaha untuk menyelamatkan teologi keluar dari kebahayaan liberalisme, mereka tetap tidak berdiri di atas dasar yang kuat, yang pernah diberikan oleh Martin Luther dan Calvin, sehingga usaha untuk kembali ke Alkitab belum tuntas.

Sejak Karl Barth, kita dapat melihat aliran-aliran lain yang menjadi pokok aliran dalam dunia teologi, yang makin kacau dan makin menyimpang dari otoritas Alkitab. Meskipun setiap aliran teologi itu mempunyai sumbangsih dan kreatifitas tertentu, namun penyimpangan dari Alkitab dapat kita lihat dengan jelas. Maka sebagai orang Kristen yang berkecimpung dalam dunia teologi, atau orang Kristen awam yang tertarik kepada doktrin, seharusnya berjaga-jaga dan mendapat pedoman lebih lanjut untuk dapat menganalisa dan dapat membeda-bedakan ajaran mana yang setia dan ajaran mana yang menyimpang.

(dari buku Harvey Conn, "Teologi Kontemporer" [Malang: Literatur SAAT])

Rabu, 11 Maret 2015

J. I Packer: Bagaimana Kita Memuliakan Allah?

Kita memuliakan Allah. Kita melakukannya dengan menanggapi pernyataan kasih karunia-Nya:

Pertama, melalui penyembahan dan puji-pujian. "Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku (Mzm. 50:23); "Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya" (Mzm. 96:8); "Memuliakan Allah karena rahmat-Nya" (Rm. 15:9).

Kedua, dengan mempercayai firman-Nya. "Dasar firman-Mu adalah kebenaran" (Mzm. 119:160); "Segala firman-Mulah kebenaran" (2 Sam. 7:28).

Ketiga, dengan mempercayai janji-janji-Nya (dengan cara ini Abraham memuliakan Allah, Rm. 4:20, dst).

Keempat, dengan mengakui Kristus sebagai Tuhan "Bagi kemuliaan Allah Bapa" (Flp. 2:11).

Kelima, dengan menaati hukum Allah. "Buah kebenaran" adalah "memuliakan dan memuji Allah" (Flp. 1:11).

Keenam, dengan tunduk pada penghukuman-Nya yang adil atas dosa-dosa kita (maka Akhan memuliakan Allah, Yosua 7:19 dst).

Ketujuh, dengan berusaha mengagungkan Dia (yang berarti membuat diri sendiri kecil) dalam hidup kita sehari-hari.

(dari buku "Rencana Allah Bagi Anda" [Surabaya: Momentum])

Kamis, 05 Maret 2015

R.C Sproul: Salib Kristus: Murka Paling Mengerikan

Pernyataan murka dan keadilan Allah yang paling kasar terlihat di kayu salib. Jika seseorang pernah mempunyai kesempatan untuk mengeluh tentang ketidakadilan, maka orang itu adalah Yesus. Ia adalah satu-satunya manusia yang tidak berdosa yang pernah dihukum oleh Allah. Jika kita terguncang tentang murka Allah, biarlah kita terguncang di salib. Di sinilah keheranan kita seharusnya terfokus. Jika kita mempunyai perkara kebiadaban moral, biarlah itu terarah ke Golgota.

Salib adalah contoh murka Allah yang paling mengerikan dan sekaligus paling indah. Salib adalah tindakan paling yang paling adil dan paling penuh kemurahan dalam sejarah. Allah akan lebih dari sekedar tidak adil, Ia akan bersikap kejam karena menghukum Yesus jika Yesus tidak tidak terlebih dahulu bersedia menanggung dosa dunia. Begitu Kristus telah melakukan itu, begitu Ia bersuka rela menjadi Anak Domba Allah, menanggung dosa kita, sehingga Ia menjadi hal yang paling fantastis dan paling kotor di planet ini. Dengan beban dosa terkonsentrasi yang dipikul-Nya, Ia menjadi benar-benar menjijikan bagi Bapa.

Allah mencurahkan murka-Nya atas hal yang kotor ini. Allah membuat Kristus menjadi terkutuk karena dosa yang dipikul-Nya. Di sinilah, keadilan Allah yang kudus termanifestasikan secara sempurna. Namun itu dilakukan bagi kita. Ia mengambil apa yang dituntut oleh keadilan dari kita. Aspek "bagi kita" dari salib inilah yang menunjukkan keagungan anugerah-Nya. Pada waktu yang sama Allah menunjukkan keadilan dan anugerah, murka dan kemurahan. Hal ini terlalu mengherankan untuk bisa dipahami.

(dari buku "Kekudusan Allah" [Batam: Gospel Press])

Kamis, 12 Februari 2015

Matthew Henry: Tugas Manusia Di Dunia

[Kejadian 2:15: "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu."]

Bagaimana Allah menentukan usaha dan pekerjaan manusia itu. Allah menempatkan Adam di situ, bukan seperti menempatkan Lewiatan di dalam air supaya bisa bermain di situ, melainkan supaya menghiasi taman itu dan mengurusnya. Firdaus itu sendiri bukanlah tempat supaya ia bisa bebas dari pekerjaan. Perhatikanlah di sini,

Pertama, tidak seorangpun dari kita yang dihadirkan di dunia ini untuk bermalas-malasan. Dia menciptakan kita lengkap dengan jiwa dan tubuh, telah memberi kita sesuatu untuk dikerjakan. Dan Dia yang memberi kita bumi ini untuk ditempati telah menyediakan sesuatu bagi kita untuk dikerjakan. Jika keturunan bangsawan, harta berlimpah, daerah kekuasaan yang luas, ketulusan sempeurna, kecondongan untuk bersaat teduh, atau keluarga kecil mampu memberi manusia izin untuk bersenang-senang, Adam tidak akan diberi tugas untuk bekerja. Namun, Dia yang telah menjadikan kita juga telah memberi kita tugas untuk melayani Dia dan angkatan kita, serta mengerjakan keselamatan kita. Jika kita melalaikan tugas, kita tidak layak menerima keberadaan kita serta pemeliharaan-Nya.

Kedua, pekerjaan dunia akan berhasil dengan baik apabila dikerjakan dengan ketulusan dan hidup bersekutu dengan Allah. Sementara berada di dunia ini, anak-anak Tuhan serta pewaris sorga mempunyai sesuatu untuk dikerjakan dengean bumi ini, yang patut menerima waktu dan pikiran mereka ini. Jika mereka melakukannya sambil mengingat Allah, mereka juga beribadah kepada-Nya sama seperti ketika mereka sedang berlutut.

Ketiga, panggilan seorang petani merupakan panggilan terhormat yang berlaku sejak zaman dahulu, yang dibutuhkan bahkan di taman Firdaus. Taman Eden yang meskipun tidak perlu dibersihkan dari gulma atau rumput liar (sebab ketika itu tanaman berduri belum menjadi gangguan) tetap saja harus ditata dan dipelihara. Alam, bahkan dalam keadaaan paling awalsekalipun, menyisakan ruang untuk meningkatkan keterampilan dan ketekunan. Ini adalah panggilan yang pantas dalam keadaan tanpa dosa, untuk membuat pembekalan bagi kehidupan dan bukan untuk hawa nafsu, serta memberi manusai kesempatan untuk mengagumi Sang Pencipta sambil mengakui pemeliharaan-Nya. Sementara tangannya sibuk mengurus pepohonan, hatinya bisa tetap bersama Allah. 

Keempat, terdapat sukacita sejati dalam panggilan untuk melaksanakan tugas yang dberikan Allah kepada kita. Tugas Adam sama sekali bukan menjadi beban melainkan justru menambah kesenangan di taman firdaus. Ia tidak akan bahagia seandainya bermalas-malasan. Hukum ini masih saja berlaku: orang yang tidak mau bekerja tidak berhak untuk makan (2 Tes. 3:10; Ams. 27:23).

(Tafsiran Kitab Kejadian [Surabaya: Momentum])

Selasa, 03 Februari 2015

John Stott: Istri Tidak Tunduk Kepada Bajingan; Suami Mengasihi Seperti...

[Efesus:
5:22  Istri, tunduklah kepada suamimu, seperti kepada Tuhan.
5:23  Sebab suami adalah kepala atas istrinya, sama seperti Kristus pun menjadi kepala atas jemaat dan Ia sendirilah juga Raja Penyelamat bagi jemaat yang menjadi tubuh-Nya.
5:24  Sama seperti jemaat juga tunduk kepada Kristus, begitu pun dalam segala hal istri harus tunduk kepada suami.
5:25  Suami, kasihilah istrimu, sama seperti Kristus mengasihi jemaat serta mengurbankan diri-Nya untuk jemaat itu.]

Tuturan Paulus bukanlah "istri tunduk, suami tuan" melainkan "istri tunduk, suami mengasihi". Memang, dalam setiap zaman dan kebudayaan pernah ada suami yang kejam, sehingga ada kalanya istri terpaksa melawan otoritas suami demi bisikan hati nuraninya. Paulus mengemukakan citra ideal Kristen, tapi ia tidak menyangkal bahwa ada orang yang tidak mencapai citra ideal itu. Para penafsir senantiasa memahaminya. Dan tentang itu Calvin berkata, "Suami... janganlah berlaku kejam terhadap istrinya atau berpikir bahwa ia dapat dan bebas memperlakukan istrinya 'semau gue', karena otoritas suami haruslah otoritas sahabat yang mengayomi, bukan otoritas raja lalim".

Tiga kali Paulus mengulangi tuturannya: hai suami kasihilah istrimu (ay 25); suami harus mengasihi istrinya (ay 28); bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu (ay 33). Dan jika sebagai kepala, suami mengasihi istrinya dengan kasih yang mengayomi dan tanggung jawab penuh, tentu sang istri akan menanggapinya dengan tunduk dalam cinta kasih yang tulus. Jadi, bila suami ingin memperoleh ketundukan istrinya, jalan satu-satunya untuk itu ialah harus tunduk mengasihi dan mengayomi istrinya.

Jika tuntutan "tunduk" bagi istri dianggap terlalu berat, jauh lebih berat lagi tuntutan bagi suami. Sebab suami wajib mengasihi istri dengan kasih Kristus, yang jauh lebih dalam dan luhur dibandingkan cinta romantis dan agresif lagi berahi, yang seringkan dinyanyikan dalam lagu-lagu populer dewasa ini. Dan apabila tanggung jawab suami untuk mengasihi ditekankan tiga kali, demikian juga juga tuntutan supaya suami meneledani Kristus. Suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat (ay 23); suami wajib mengasihi istri sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat (ay 25); suami harus mengasuh dan merawat istri sama seperti Kristus terhadap jemaat (ay 29). Jadi sebagai kepala, kasih dan penyantunan suami terhadap istri haruslah serupa dengan kasih dan pemeliharaan Kristus terhadap jemaat.
...
Inilah pengorbanan diri secara total dan tulus.

(dari Tafsiran Efesus, "[YK Bina Kasih OMF])

Kamis, 29 Januari 2015

W. J Kooiman: Antara Luther dan Calvin...

Orang sering membandingkan [Martin] Luther dengan [John] Calvin, lalu mengatakan bahwa Calvin lebih memperhatikan susunan gereja dan hubungan gereja dengan dunia. Akan tetapi, orang sering lupa bahwa Calvin mempunyai tugas yang berbeda dibandingkan dengan Luther. Calvin hanya dapat memenuhi tugas ini di atas pundak reformator yang pertama. Selain itu, Calvin hidup dalam lingkungan yang lain sama sekali. Artinya, ia mempunyai lebih banyak kemungkinan ketimbang Luther di dalam kerajaan Sachsen yang bersuasana patriarkat. Metode-metode reformator Genewa tersebut sebenarnya juga mempunyai kekurangan-kekurangan. Akhirnya, kedua reformator tadi merupakan pribadi-pribadi yang berlainan sama sekali! Mereka mengalami perkembangan yang berbeda.

Calvin adalah seorang pemikir yang jauh lebih logis dari pada Luther, melihat persoalan dengan pandangan yang tajam, serta mengambil keputusan secara cepat dan radikal. Sesudah pergumulan yang melelahkan, Luther baru terlepas dari persoalan-persoalan tradisi. Ia bukan seorang manusia yang rasional. Ia tidak membangun suatu sistem teologi. Ia melakukan jauh lebih banyak: merangkum dalam pemberitaannya suatu kekayaan yang hidup, yang tidak dapat diuraikan atau diikhtiarkan, sekalipun paradoksal seperti Injil itu sendiri, secara lgosi dalam buku pelajaran manapun.

Luther dan Calvin tidak pernah bertemu satu sama lain. Seandainya hal itu terjadi, pertemuan tersebut pasti jauh lebih akrab dibanding pertemuan Luther dan Zwingli. Ia pun tidak pernah merasakan persahabatan dengan para pengikut Zwingli. Melanchton seringkali harus mengingatkan Luther tentang kebenciannya terhadap Calvin pada masa akhir hidupnya. Sikapnya sangat berlainan dengan Calvin yang masih muda. Pada tahun 1539, tampaknya ia setuju dengan anggapan Calvin tentang Perjamuan Kudus. Persoalan utama Luther dan Calvin dalam sakramen itu, ialah perbuatan Allah, bukan manusia.

Tatkala orang menunjukkan kepada Luther bahwa Calvin menenatang ajarannya tentang kehadiran jasmaniah dari tubuh dan darah Kristus dalam anggur dan roti, maka jawabnya, "Saya berharap suatu kali ia akan berpendapat lebih baik tentang kita. Namun, kita mesti sedikit bersabar terhadap jiwa yang besar seperti itu".

Pada tahun terakhir hidupnya, menurut surat kabar yang terpercaya, di sebuah toko buku di Wittenberg, Luther menemukan sebuah tulisan dari tangan reformator Genewa tentang Perjamuan Kudus yang baru saja diterbitkan. Di toko buku tadi ia juga mulai membacanya dan berkata kepada pedagang buku itu, "Orang yang membuat tulisan ini adalah seorang yang terpelajar dan saleh. Bila Oecolampadius dan Zwingli berpikir seperti dia, maka perbantahan semacam itu tidak akan pernah terjadi".

Calvin pun menaruh hormat yang sebesar-besarnya kepada Luther. "Saya ingin", tulis Calvin kepada seorang kawannya, "supaya engkau betul-betul mengingat betapa Luther merupakan seorang yang besar. Betapa ia dianugerahi dengan karunia-karunia yang luar biasa. Betapa ia memerangi kerajaan anti-Kristus dengan hati yang berani dan tetap melalui kecakapan serta kekuatan yang besar. Betapa ia bersusah payah menyebarkan ajaran keselamatan yang dilakukannya secara rajin".

(dari buku "Martin Luther" [Jakarta: Gunung Mulia])

Sabtu, 24 Januari 2015

Beth Moore: Menaklukan Perasaan Bersalah

Cara-cara utama yang setan gunakan untuk memperkeras suara tuduhannya adalah dengan memanfaatkan orang-orang yang bersedia melakukannya, dan jumlah mereka tidak sedikit. Pada dasarnya, kita adalah kumpulan orang yang tak berbelas kasihan dan suka menghukum. Seandainya penghakiman berada di bawah kekuasaan kita, maka orang yang dilemparkan ke dalam kobaran api kekal akan berjumlah jauh lebih banyak ketimbang yang ditentukan di bawah penghakiman Allah yang kudus dan benar. Kenalilah kebenaran dengan menyeluruh dan beresponslah segera kepada upaya penyadaran akan dosa, sehingga ketika tuduhan-tuduhan datang, Anda dapat melawan si setan, siapapun yang dipakainya untuk menyuarakan tuduhannya.
...
Salah satu alat ukur andal untuk menilai kedekatan seseorang dengan Allah adalah jarak waktu yang ada antara doas dan pertobatan dari dosa itu. Manusia yang dewasa kerohaniannya masih dapat berbuat dosa, tetapi ia tidak akan mampu melawan pertobatan yang niscaya terjadi. Kepekaan yang meliputinya bermuara pada kehidupan yang lebih kudus karena ia bertobat pada tahap-tahap yang lebih awal dari sesuatu yang jika tidak, akan menjadi dosa yang menyebar. Memang, mereka yang berjalan dekat dengan Allah akan membuat frustrasi usaha-usaha dari si penuduh; ketika ia sampai di surga untuk mendaftarkan tuduhan-tuduhannya, Allah dapat berkata dengan sukacita, "Saya tidak ingat akan dosa tersebut".
...
Orang yang tidak yakin akan kasih Allah yang pengampun, adalah orang yang masih belum yakin kalau dirinya lebih dari orang-orang yang menang.

(dari buku "Berdoa Sesuai Firman" [Jakarta: PPA])

Selasa, 20 Januari 2015

Pdt. Stephen Tong: Mengapa Kita Menginjili? (2)

Ketiga, mengapa kita menginjili? Karena desakan Roh Kudus di hati kita masing-masing. The constraint of love; the Holy Spirit enforce us, encourage us, empower us, and strengthen us to evangelize others [dorongan cinta kasih, Roh Kudus memberi kuasa kepada kita, memberi keberanian kepada kita, menggerakan kita, menguatkan kita untuk memberitakan Injil kepada orang lain].

Roh Kudus selalu memberi kita dorongan untuk mengabarkan Injil. Itulah yang Paulus katakan, karena begitu besar dorongan kasih-Nya yang sudah mati bagi kita, maka aku mati dan hidup bagi-Nya. Jadi, kita rela mati dan hidup bagi Kristus karena Dialah yang terlebih dahulu mati bagi kita.
...
Keempat, mengapa kita mengabarkan Injil? Karena merasa hutang terhadap jiwa-jiwa yang tersesat. Waktu kau tanyakan terhadap orang yang sedang berjalan: "mau ke mana?" pasati dijawab: mau ke office; atau ke sekolah atau ke pasar atau mencari kawan atau menghadiri pertemuan bisnis... Tapi coba tanyakan setelah hidup ini berakhir, mereka kaan ke mana? Pasti mereka tidak tahu bahwa mereka sedang mengarah ke neraka.

7 Januari 1957, kali pertama Tuhan menggerakkan hati saya jadi hamba-Nya, saya baru berusia 17 tahun. Hari itu, saya berjalan di kota-kota Surabaya. Saya memandang ke atas, di mana terdapat langit yang biru (tapi sekarang langit di kota Jakarta abu-abu, bukan biru), awan yang putih, burung-burung terbang ke sana- kemari, angin sepoi-sepoi, membuat daun yang hijau di pohon-pohon bergoyang. Waktu saya melihat ke jalan, di mana terdapat banyak orang-orang yang mondar-mandir, mereka sibuk, saya mendengar suatu suara yang berkata di hati: "do you know, that they are facing hell; they are heading to the eternal punishment; they are perished". Tahukah kau bahwa orang-orang itu sebenarnya bukan berjalan mengarah ke kantor atau ke sekolah atau ke pasar atau ke ... mereka mengarah ke neraka. Saya terkejut. Itulah kali pertama saya menyadari semua orang mengarah ke neraka, menerima hukuman Allah yang kekal. Siapa yang mengasihi mereka, mau mengabarkan Injil kepada mereka? Maka saya berkata: Tuhan, kalau Kau mau memakai ku, aku mau membawa mereka berbalik arah, percaya Tuhan Yesus Kristus, jadi pengikut-Nya".

Tapi dua hari kemudian, saya datang ke satu kebaktian dengan rasa terpaksa. Karena sesungguhnya saya tak ingin jadi hamba Tuhan. Tapi Roh Kudus bekerja dan berkata, "kau harus taat", membuat saya merasa kursi di ruang kebaktian itu begitu keras; begitu tak nyaman. Karena saya sadar, kebaktian itu pasti ditutup dengan panggilan hamba Tuhan. Tapi suara itu berbicara dalam hati saya. Dan setelah satu jam mendengar khotbah, saya tahu saya tak mungkin lari dari panggilan untuk menjadi hamba Tuhan mengabarkan InjilNya. Mak asaat panggilan berlangsung, ornag-orang maju ke depan, air mata terus mengalir; tak henti-hentinya. Dan sungguh seumur hidup; sampai hari ini saya tak pernah mengalirkan air mata sebanyak hari itu 9 Januari 1957, membasahi bagian depan pakaian saya. Dari mana datangnya air mata sebanyak itu? Saya tak tahu. Dan mengapa air mata mengalir terus tak dapat distop? Saya juga tak tahu. Hanya tahu, sejak hari itu, tak pernah barang satu detikpun dalam hidup saya meragukan statusku sebagai hamba Tuhan dan tak pernah ingin tinggalkan panggilanNya. Karena saya tahu, jadi hamba Tuhan adalah jalan hidpku.
...
Mulai hari di mana saya menyerahkan diri jadi hamba Tuhan, say amembeli enam ribu lembar traktat. Dan berjanji pada Tuhan, satu tahun paling sedikit membagikan 5000 lembar traktat dan menginjil orang-orang yang lalu lalang di jalan.
...
(dari Ringkasan Khotbah 2011 GRII Kemayoran)

Senin, 19 Januari 2015

Pdt. Stephen Tong: Mengapa Kita Menginjili? (1)

Pertama, karena memberitakan Injil adalah kehendak Tuhan. Saya pernah mengatakan di acara Rally Doa: we evangelize, we tell the story of Jesus Christ; we preach the Gospel, because this is the will of God [kita menginjili, kita menceritakan cerita Yesus Kristus, kita memberitakan Injil karnea ini adalah kehendak Allah]. Karena bagi Calvin, "nothing is greater than the will of God except God himself", tidak ada yang lebih besar dari kehendak Allah, kecuali Allah. Dan Allah yagn berkehendak juga adalah Allah yang mencipta, Allah yang merencanakan keselamatan dan menyelamatkan orang berdosa, Allah yang kelak akan menghakimi seluruh dunia. ...

Jadi karena Tuhan menetapkan kehendak mencipta, maka segala sesuatu eksis. Karena Tuhan menetapkan kehendak menyelamatkan, makakamu pilihan diselamatkan... Maka Dia juga menghendaki orang Kristen mengabarkan Injil agar umat pilihan-Nya punya kesempatan menerima Yesus... Kalau kita tidak menjalankan kehendak-Nya, kita bukan orang Kristne yang taat, juga bukan orang Kristen yang cinta Tuhan. Karena kata Tuhan Yesus: "Barang siapa mendengar perintah-Ku dan menjalankannya, dia adalah orang yang mencintai Aku".

Kedua, mengapa kita mengabarkan Injil? Because this is the commandment of Jesus Christ [Karena ini adalah perintah Tuhan Yesus]. Baik kau setuju ataupun tidak setuju di dalam kekekalan Yesus Kristus adalah Raja di atas segala raja, Tuhan di atas segala yagn dipertuan... Tahukah kau Yesu sKristus yang sekarang ini kau anggap sepi, dan tak kau taati itu adalah Raja di atas segala raja, Tuhan di atas segala yang dipertuan, jadi perintah-Nya harus kau jalani?

Celakalah orang yang hidupnya otonom, tak perlu taat kepada siapapun. Suatu hari nanti dia akan menerima ganjaran dari Tuhan, karena Dialah yang tertinggi, setiap orang harus mendengar perintah-Nya. sebaliknya berbahagialah orang yang sebelum bertemu dengan-Nya di dalam kekekalan sudah menjalankan perintah-Nya. Akhir-akhir ini, saya sering berpikir: apa yang saya akan terima saat berdiri di hadapan Tuhan nanti: hajaran, pukulan, hardikan, atau pahala? Saya tak tahu. Tapi saya tahu, saya harus mempelajari dan harus menjalankan perintah-Nya. Karena menjalankan semua perintah-Nya adalah bukti cinta seorang pada Tuhan.

(Dari Ringkasan Khotbah 2011 GRII Kemayoran)

Minggu, 18 Januari 2015

4 Kuasa Yang Diperlukan Pengkhotbah

Paling tidak ada empat kuasa yang diperlukan seorang pengkhotbah.

Pertama, kuasa untuk memuliakan Allah di atas mimbar. Pengkhotbah diberi kuasa, keberanian dan kejujuran untuk meninggikan Tuhan melalui khotbah-khotbahnya. Seperti dikatakan John Piper, seorang pengkhotbah seharusnya memancarkan aroma kebesaran Allah.

Kedua, kuasa untuk melakukan kehendak Tuhan dalam kebaktian tersebut. Setiap kebaktian merupakan kesempatan bagi Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya baik kepada pengkhotbah maupun pendengar. Misalnya, Tuhan mempertobatkan, memanggil, menggerakkan, memperbaharui melalui firman Tuhan yang disampaikan. Jadi, biarlah apa yang sudah direncanakan Tuhan, dilaksanakan melalui kebaktian tersebut.

Ketiga, kuasa untuk membagikan isi hati Tuhan kepada pendengar. Setiap pendengar memerlukan isi hati Tuhan. Pengkhotbah menyampaikan isi hati Tuhan yang sudah ia gumulkan dalam hatinya dan diharapkan tiba kepada hati pendengar.

Keempat, kuasa untuk memimpin manusia kembali kepada Tuhan.

Marilah kita mendoakan setiap pengkhotbah yang menyampaikan firman Tuhan dari atas mimbar gereja kita.

Kamis, 15 Januari 2015

Sinclair Ferguson: Keharusan Disiplin Bagi Anak Tuhan

Disiplin merupakan tanda keabsahan. Inilah bukti bahwa ayah kita memedulikan kita. Ia memikirkan cara untuk membentuk kita menjadi dewasa seperti yang ia harapkan. Hal ini berlaku juga dalam hal rohani. Kita perlu didisiplin oleh Bapa sorgawi.

Mengapa kitab Ibrani menekankan disiplin? Karena orang Kristen waktu itu (juga kita) cenderung melupakan faktor mendasar dalam kehidupan Kristen (Ibr. 12:5). Melihat penderitaan yang dialami orang-orang Kristen Ibrani ini, hal itu tampak sebagai hal yang tak mungkin boleh terjadi (lihat 10:32-34), tetapi justru sebaliknyalah yang benar. Kita sering terkejut bahkan seolah kehilangan arah, ketika mengalami disiplin yang menyakitkan dalam perjalanan kita sebagai musafir. Ketika kita memasuki tahap kehidupan yang baru, kita secara keliru menganggap bahwa ujian yang pernah kita alami telah menjadi masa lalu. Tetapi Allah tidak berpendapat demikian.

Apa yang terjadi ketika kita lupa bahwa disiplin merupakan bahan baku bagi kehidupan Kristen yang kokoh? "Engkau telah melupakan kitab suci" kata penulis Kitab Ibrani, "dan sudah lupakah kamu akan nasehat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak?" (12:5). Dalam kasus tertentu kita bahkan bisa menganggap penulis Ibrani berkata bahwa kita telah mengabaikan Kitab Suci. Tetapi, bila kita telah jauh dari jalan pertumbuhan rohani kita dengan pasti mengetahui bahwa Alkitab telah mengajarkan bahwa kita sedang berada di jalur pemuridan; kita sedang mendaki apa yang oleh John Bunyan disebut sebagai "bukit kesulitan". Namun sayangnya, kita sering melupakan hal ini! Kita perlu terus diingatkan tentang pola hidup kekristenan, yang di dalamnya mencakup pendisiplinan.

Fakta ini sering mematahkan semangat anak-anak Allah. Tetapi penulis Ibrani mengatakan bahwa menurut Alkitab, disiplin dan hajaran adalah sarana untuk "membangun semangat" kita.

Bagaimana hal ini mungkin? Kesadaran bahwa Allah mendisiplin semua anak-Nya memampukan kita untuk menanggungnya. Disiplin adalah bukti kepedulian, kerinduan dan hasrat-Nya agar kita bertumbuh dalam anugerah-Nya. Kalau bukan karena ajaran Kitab Suci, maka ujian yang kita alami mungkin membuat kita berpikir bahwa Allah membenci kita. Tetapi yang benar justru sebaliknya. Sebagai Bapa, Ia membuat segala sesuatu bekerja bersama-sama "untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Rm 8:28).

(dari buku "Anak-Anak Allah Yang Hidup" [Surabaya: Momentum])

Rabu, 14 Januari 2015

Kalimat Penting: Damai Tak Bersyarat

"Peace is unconditional as it is rooted in an unconditional love of God."

Terjemahan bebas: 
"Damai bersifat tak bersyarat, ketika berakar pada kasih Allah yang tak bersyarat"

Senin, 12 Januari 2015

Pdt. Stephen Tong: Unconditional Love (Kasih Tanpa Syarat)

Kristus mengasihi kita demi mendapatkan apa? Tidak ada. Sebaliknya, justru Dialah yang mencurahkan darah-Nya, menyerahkan nyawa-Nya; hidupNya mati disalibkan bagi kita. Jadi jangan berpikir, Kristus mencintaimu, karena kau baik.

Sebab kata-Nya:
I love you, not because you have given Me something, nor because you are worthed to receive My love, but because I love and I want to love you. Even you are unworthed to receive My love, I still love.

[Terjemahan: I mengasihi engkau, bukan karena engkau telah memberikan sesuatu kepada Ku atau bukan karena engkau layak menerima kasih-Ku, tetapi karena Aku mengasihi dan Aku ingin mengasihi engkau. Bahkan ketika Engkau tidak layak menerima kasih-Ku, Aku tetap mengasihi]
...
Memang mau mencintai orang lain itu tidak gampang. Karena tiap-tiap orang punya kelemahan, maka kalau kita hanya melihat kelemahan seorang, kita akan membencinya, dan itu menyatakan bahwa kita adalah orang Kristen yang tidak rohani. Tapi kalau kita tahu dia lemah dan masih bisa mengasihinya, kita disebut orang Kristen rohani. Jadi, kalau kita hanya mencintai yang orang yang baik, yang pintar... itu adalha sesuatu yang lumrah. Kalau kita hanya mencintai orang yang bisa kita peralat, tidak ada yang dapat kau banggakan. Tapi kalau kau dapat mencintai seseorang yang tak punya kebaikan, tak memberikan keuntungan apa-apa, kau disebut sebagi orang Kristen yang menjalankan perintah "love one another, as I have loved you, so you love one another" [mengasihi satu dengan yang lain sebagaimana Kristus telah mengasihi kita].

(dari Eksposisi Injil Yohanes 108, Tahun 2011 di GRII Pusat)

Sabtu, 10 Januari 2015

Bill Hybels: Disiplin Berdiam Diri

Orang yang betul-betul ingin mendengar suara Allah paham bahwa ada harga yang harus dibayar, yaitu berdiam diri yang dilakukan secara disiplin.

Orang yang paling tidak punya waktu untuk berdiam diri, tentu Yesuslah orangnya. Berduyun-berduyun orang mengikuti-Nya kemana pun Ia pergi. Ia berkhotbah, mengajar, menyembuhkan sepanjang hari dan setiap hari. Namun Yesus mengembangkan disiplin berdiam diri di hadapan Allah sekalipun banyak peranan dan tanggung jawab yang harus dipikul-Nya.

Markus 1:35 mengatakan, "Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi keluar. Ia pergi ke tempat yang terpencil dan berdoa di sana". Jadi jelaslah, saat berdiam diri dan menyendiri penting bagi Dia. Pada saat Ia menyendiri, Ia bukan saja mencurahkan isi hati-Nya kepada Bapa, melainkan juga mendengarkan Bapa dengan sungguh-sungguh.
...
Jika Yesus satu-satunya tokoh yang disebutkan di dalam Alkitab yang menyediakan waktu untuk mendengarkan Allah, telada n itu saja sudah kuat untuk kita ikuti. Namun itu tidaklah benar - tidak hanya Yesus yang melakukan itu. Raja Daud, penulis banyak Mazmur "masuk dan duduk di hadapan Tuhan" (2 Sam. 7:18). Nabi Yesaya, sebelum mendapatkan pengutusan yang sulit dari Allah, mendengar Allah di Bait Suci (Yes 6). Rasul Petrus "naik ke atas rumah untuk berdoa" kira-kira pukul dua belas dan di sana Allah berbicara kepadanya (Kis. 10:9-20).

Alkitab penuh dengna cerita tentang orang-orang yang menyediakan waktu untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Allah kepada mereka.

[Hari ini, firman Allah sudah dinyatakan dalam Alkitab. Marilah sediakan waktu berdiam diri, merenungkan firman Tuhan dalam Alkitab setiap pagi. Setelah itu, bersyafaatlah...]

(dari buku "Terlalu Sibuk? Justru Harus Berdoa")

Kamis, 08 Januari 2015

Sesudah Natal, Lalu Apa?

Sesudah Natal berlalu, ketika lagu "Malam Kudus" tidak lagi dinyanyikan, ketika lagu "Dunia Gemar dan Soraklah" tidak lagi disorakkan, lalu apa sekarang?

Masihkah kita ingat bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah Yang MahaTinggi? Apakah Kristus yang adalah Raja Damai itu bertahta dalam hati kita? Apakah kita taat kepada Dia?

Apakah kasih Kristus yang begitu luar biasa itu terwujud dalam hidup kita kepada orang-orang yang berada di sekitar kita?

Apakah lilin terang yang kita nyalakan dalam kebaktian Natal, sudah kita "nyalakan" melalui hidup kita untuk menerangi sekitar kita yang gelap?

Masih ingatkah kita akan khotbah-khotbah Natal yang baru lewat?

Apakah semangat Kristus untuk merendahkan diri dan rela menderita sudah terwujud dalam hidup kita?

Jangan-jangan yang kita ingat dari Natal adalah kemeriahan acaranya, penuh selebriti dan selebritas, Sinter Klas, Piet Hitam, kaus kaki, hadiah Natal untuk kita, makan-makan Natal, musik yang bergemuruh bagai gempa bumi, pohon Natal... yang semuanya itu tidak ada di Betlehem pada malam Yesus dilahirkan...

Senin, 05 Januari 2015

Berhala-Berhala Dalam Gereja

Dalam masa kontemporer ini, kita sering mendengar hal-hal yang secara sadar atau tidak sadar sudah dijadikan berhala dalam gereja. Betapa semua ini adalah kejijikan di mata Tuhan. Hanya satu yang harus ada dalam gereja yakni Tuhan. Sisanya, siapapun dia, apapun itu, hanyalah pelengkap yang boleh ada dan boleh tidak ada. Tuhan, Pencipta langit dan bumi, Penebus orang percaya, Pemelihara alam semesta, Dia-lah yang bertahta dalam gereja juga yang bertahta atas alam semesta.

Kita sering mendengar:

Hanya dengan minyak urapan orang disembuhkan, diselamatkan dari kecelakaan, memperoleh anak dan sebagainya. Minyak urapan telah diangkat menjadi berhala dalam gereja itu. Sebab, ada Tuhan tetapi tidak ada minyak urapan, tidak mungkin ada kesembuhan dll. Jikalau Tuhan yang dipercaya sebagai Allah yang berdaulat maka tidak ada minyak urapan pun, kalau Tuhan mau, demi kemuliaan-Nya, Ia berkuasa menyembuhkan, pada waktu-Nya.

Dalam sebuah seminar di suatu kota, seorang jemaat berkata, "pak, kalau di gereja sini, tidak ada makanan berat, seminar pasti sepi". Di kota ini, perkataan Tuhan Yesus telah dirubah. Bukan lagi, "manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat. 4:4) tetapi "manusia hidup bukan dari Firman yang keluar dari mulut Allah saja tetapi terutama dari roti". Dalam konteks ini, berhala barunya adalah makanan. Tuhan Yesus berkata "Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya." (Yoh. 6:27).

Suatu kali, panitia KKR dari suatu organisasi menghubungi pendeta-pendeta di suatu daerah untuk mengadakan KKR di daerah tersebut. Para pendeta dengan penasaran bertanya kepada panitia: "apakah nanti dalam KKR ini ada artis?" Panitia mengatakan tidak ada artis. Seorang pendeta lain bertanya, "apakah ada kesembuhan Ilahi?" Panitia berkata, "KKR ini berfokus kepada pemberitaan Firman Tuhan". Seorang pendeta lain lagi bertanya, "apakah ada band, musik yang keras dan ramai?" Panitia menjawab, "musiknya sederhana, yang penting hati sungguh-sungguh memuji Tuhan". Cerita ini menggambarkan berhala-berhala yang disembah oleh para pendeta, sadar atau tidak sadar: artis, musik, kesembuhan, door prize dan lain-lain. Mengapa pendeta-pendeta itu tidak bertanya: "Apakah pengkhotbah akan menyampaikan khotbah yang setia kepada Firman Tuhan? Apakah pengkhotbah akan menyampaikan isi hati Tuhan?"

Marilah kita berdoa bagi kebangunan rohani dalam gereja-gereja: agar Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja, bertahta atas gereja-Nya dan seluruh kemuliaan tidak dicuri oleh seorang pun tetapi dikembalikan kepada Tuhan semata-mata. Biarlah gereja seperti orang Israel, menolak semua berhala-berhala tersebut. Biarlah gereja Tuhan bertobat.

Oh yah, jangan lupa, ada satu berhala lagi: kalau tidak ada pohon Natal dalam gereja, itu bukan Natal. Padahal, ada pohon Natal tetapi tidak ada Kristus, itulah yang tidak layak disebut sebagai Natal. Natal: "Christmas" dari Old English: "Cristes+Maesse" yang berarti "Christ's Festival". Tanpa Kristus, itu bukan Natal sama sekali.

Sabtu, 03 Januari 2015

Menjadi Gereja Yang Dipakai Tuhan

Menjadi gereja yang dipakai oleh Tuhan, semata-mata adalah anugerah Tuhan. Tanpa anugerah Tuhan, tidak mungkin ada seorang pun atau suatu gereja pun yang dipakai oleh Tuhan.

Meski demikian, hal-hal ini dapat digumulkan:

Pertama, menjadi gereja yang membela kehormatan Tuhan dan mengejar kemuliaan Tuhan. Gereja demikian tidak akan membiarkan kehormatan Tuhan tercela oleh apapun juga. Gereja demikian akan selalu memanfaatkan semua kegiatan untuk menyatakan betapa hebatnya Tuhan.

Kedua, menjadi gereja yang bertobat dan hidup kudus. Gereja tersebut adalah gereja di mana setiap orang di dalamnya selalu mengevaluasi diri setiap hari dan ada pertobatan baru serta mengejar kekudusan. Gereja ini akan memandang kemuliaan Tuhan (Ibr. 12:14).

Ketiga, menjadi gereja yang merendahkan diri dan tidak mencuri kemuliaan Tuhan. Tinggi hati adalah kekejian di mata Tuhan (Ams. 17:5) dan Tuhan tidak mungkin memakai apapun yang adalah kekejian bagi-Nya.

Keempat, menjadi gereja yang berdoa yaitu gereja yang bersekutu dengan Tuhan, bergantung kepada Pencipta mereka dan mengandalkan Tuhan sepenuhnya. Gereja tidak mengandalkan keuangan, pengalaman, orang kaya, relasi dengan pejabat dan lainnya.

Kelima, menjadi gereja yang menggumulkan isi hati Tuhan, memberitakan isi hati Tuhan dan menggenapkan isi hati Tuhan.

Keenam, menjadi gereja yang sehati dan di dalamnya penuh kasih Kristus. Gereja yang bertikai dan penuh kebencian tidak mungkin dipakai Tuhan.

Ketujuh, menjadi gereja yang belajar dan mencintai firman Tuhan. Orang-orang di dalamnya suka membaca, menghafal, merenungkan dan melakukan firman Tuhan.

Kedelapan, menjadi gereja yang memberitakan Injil baik penginjilan pribadi maupun penginjilan massal.