Dalam hasil penelitian yang berjudul "Mark: The Gospel as Story", Ernest Best memberikan garis besar tentang beberapa poin yang berguna agar kita bisa memahami pengertian Injil-Injil sebagai pemberitaan-pemberitaan firman.
Pertama, sebagai sebuah pemberitaan firman, masing-masing Injil mengait kepada suatu situasi tertentu. Para penulis-penginjil itu tidak menulis supaya tulisan mereka dapat ditempatkan dalam Perjanjian Baru sebagai saksi-saksi atas karya penebusan Allah di dalam kehidupan Yesus dari Nazaret yang berotoritas serta tidak terikat konteks waktu. Jelas bahwa pada waktu Injil-Injil itu ditulis, belum ada yang namanya Perjanjian Baru. Sebaliknya, empat Injil tersebut ditujukan kepada suatu umat tertentu yang hidup dalam kondisi-kondisi yang tertentu pula. Injil-Injil itu pada awalnya didesain untuk mengaplikasikan berita Injil kepada kebutuhan-kebutuhan tertentu. Dengan menyampaikan kisah misi Yesus dalam cara tertentu, masing-masing penginjil berusaha memberitakan sebuah firman yang sangat penting dari Allah bagi khalayak pembacanya.
Kedua, dengan menyebut Injil-Injil sebagai "pemberitaan-pemberitaan firman" kita mengerti bahwa Allah berbicara melalui masing-masing Injil tersebut. Injil-Injil ini bukanlah sekadar suatu bentuk karya sastra yang menarik perhatian, juga bukan sekadar kisah yang menarik tentang seseorang yang hidup dan mati ribuan tahun yang lalu. Melalui kata-kata dan tindakan-tindakan Yesus yang terekam di dalam Injil-Injil, Sang Tuhan yang telah bangkit itu kembali hidup dan kehidupan-Nya ini memiliki otoritas untuk berbicara kepada suatu generasi baru. Melalui tulisan-tulisan ini, para penulis Injil melanjutkan usaha pekabaran berita Injil!
bersambung...
(dari buku "Memahami Injil-Injil dan Kisah Para Rasul" [Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab])