Pertama, untuk mengekang orang-orang berdosa dengan memerintahkan mereka untuk taat kepada kehendak Allah. Hukum eksternal itu meneguhkan hati isi hati nurani internal manusia. Karena dosa begitu mudah mendistorsikan hati nurani, menjadikannya tidak efektif sebagai suatu standar yang absolut untuk kebenaran, manusia memerlukan suatu sumber yang eksternal yang objektif yang menyatakan dengan jelas apa yang benar dan apa yang salah. Sama seperti seorang hakim menakutkan bagi para pelaku kejahatan (Rm 13:3), demikianlah hukum memperingatkan tentang beratnya konsekuensi dosa. Dalam dunia yang belum dilahirkan kembali, hukum Allah menjadi sesuatu yang membahayakan bagi dosa. Secara individual, kita membutuhkan hukum untuk mengekang dorongan-dorongan kita yang berdosa. Tertib sosial juga membutuhkan hukum untuk menahan kejahatan dan dengan demikian mempertahankan ketertiban dalam bidang politik.
Kedua, untuk mengarahkan mereka kepada Kristus dengan menginsafkan mereka akan dosa mereka. Hukum menetapkan kesalahan orang-orang yang belum lahir kembali dengan menunjukkan kepada mereka dosa mereka (Rm 3:20). Paulus dengan jelas mengilustrasikan karakter pedagogis hukum dengan menyebutnya sebagai "penuntun bagi kita sampai Kristus datang" (Gal. 3:24). Hukum melakukan suatu fungsi yang serupa dalam tatanan sosial dengan melayani sebagai suatu basis bagi pendakwaan dalam suatu sidang pengadilan. Orang-orang yang bertanggung jawab untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat harus memiliki suatu standar untuk menghakimi perilaku si terdakwa.
bersambung...
(dari buku "Membangun Wawasan Dunia Kristen 2" [Surabaya: Momentum])