Wycliffe hanya satu di antara sekian banyak orang yang menyerang korupsi dan kesewenangan di gereja. Akan tetapi dia orang yang penting waktu itu, yang menyelidiki praktek-praktek tersebut dan menyerang doktrin-doktrin Katolik pada saat itu yang melatarbelakanginya.
Wycliffe memutuskan hubungan dengan tradisi Katolik ketika ia memilih Alkitab sebagai kewibawaan terakhir dalam mencari penyelesaian masalah. Pada tahun 1378 ia menulis "De Veritate Sacrae Scripturae" (Kebenaran Kitab Suci), yang di dalamnya ia menggambarkan Alkitab sebagai norma yang paling akhir dan tuntas. Norma itu yang harus dipakai untuk menguji gereja, tradisi, konsili bahkan paus sendiri.
Alkitab memuat segala sesuatu yang perlu untuk diselamatkan tanpa ditambah-tambah dengan tradisi-tradisi. Selain itu, semua orang Kristen harus membacanya sendiri, bukan hanya rohaniawan. Untuk maksud itu, Wycliffe mendesak agar Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari zaman itu. Ia juga menyuruh "pengkhotbah-pengkhotbah" miskin sebagai penginjil membawa Alkitab dan mengkhotbahkannya. Dalam hal ini mereka mirip dengan anggota-anggota ordo pengemis sebelumnya, kecuali dalam sikap mereka melawan penguasa-penguasa gereja.
bersambung...
(dari buku "Runtut Pijar" [Jakarta: Gunung Mulia])