Jumat, 09 Agustus 2013

John Stott: Pemimpin yang Disiplin (1)

Setiap visi mempunyai kecenderungan untuk memudar. Kerja keras yang dimulai dengan semangat yang berapi-api, dapat dengan mudah berubah menjadi kerja rutin yang hampa tanpa makna. Penderitaan dan rasa kesepian mulai menunjukkan pengaruhnya. Pemimpin merasa dirinya tidak dihargai dan mulai menjadi jenuh. Cita-cita Kristiani tentang pelayanan yang rendah hati kedengaran indah dalam teori, tapi dalam kenyataan terbukti tidak praktis. Dan suatu ketika sang Pemimpin berkata kepada dirinya sendiri: "kita cari yang cepat saja, meskipun harus berjalan di atas kepala orang lain; dengan cara itu cita-cita akan lebih lekas tercapai. Dan kalau sudah berhasil, apakah cara kita mencapainya masih perlu dihiraukan? Sedikit kompromi toh tak ada salahnya, ya atau tidak?"

Memang tidak bisa diingkari juga pemimpin-pemimpin adalah yang terdiri dari daging dan darah dan bukan dari batu atau metal. Apa yang dikatakan Peter Drucker adalah benar, "orang yang kuat, kelemahannya kuat juga". Bahkan pemimpin-pemimpin yang besar dalam cerita Alkitab memiliki cacat-cacat yang fatal. Juga mereka terjerembab, tak bisa diandalkan 100% dan rapuh... Jika para pahlawan Alkitab itu gagal, harapan apakah yang masih ada pada kita?

Pertanda terakhir seorang pemimpin Kristiani adalah disiplin, bukan saja disiplin dalam arti umum sebagai kemampuan mengendalikan nafsu-nafsu serta mengatur waktu dan tenaga sendiri, melainkan dan istimewa dalam artinya yang khusus yaitu disiplin untuk berharap hanya pada Allah. Pemimpin Kristiani sadar akan kelemahannya. Ia tahu betapa besar tugas yang diembannya dan betapa kuat pihak yang menentangnya. Namun ia tahu juga betapa tak terhingga kenyataan kasih Allah.

bersambung...
(dari buku "Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani" [Jakarta: YK Bina Kasih, 1993])