Ketiga, murid.
Jika tersedia pendidik yang baik, bahan yang akan dipakai juga perlu yang baik. Jika yang didik adalah "ketela" maka selesai dididik akan jadi "ketela yang terdidik", berarti tetap ketela. Seorang guru bagaikan pemahat. Pada waktu ia memahat, ia mempunyai keterampilan, nilai seni, konsep keindahan dan sebagainya, juga disertai dengan alat-alat yang baik. Tetapi jika Anda memberikan kepadanya ubi untuk ia ukir, sekalipun ia mengukir dengan teknik dan seni yang luar biasa, tetap ubi itu akan menjadi ukiran ubi. Jika kayu ebonit yang diberikan, maka hasilnya akan jauh lebih baik yaitu ukiran kayu ebonit. Demikian juga marmer, atau pun granit diberikan kepadanya, maka ia akan menghasilkan barang ukiran yang jauh lebih bermutu. Di sini kita melihat perlunya akan murid-murid yang baik.
Keempat, sarana pendidikan.
Kalau kita memperhatikan sejarah, guru-guru yang teragung dalam sejarah seperti Konfusius, Tagore, Sokrates, Heraklitos, Anaximines dan Tuhan Yesus, justru mereka yang mengajar tanpa fasilitas memadai. Sokrates mengajar di jalan-jalan; Yesus mengajar di ladang, di gunung, di pinggir pantai. Mereka tidak menuntut fasilitas terlebih dahulu baru bisa mengajar. Mereka tidak menuntut ruang ber-AC terlebih dahulu baru bisa mengajar. Sarana tidak terlalu penting bagi Dia. Yesus mengajar karena Ia adalah kebenaran; Ia mengajarkan kebenaran; dan Ia meminta kita menerima kebenaran. Fasilitas tidak menjadi hal yang utama. Itu alasan mengapa pertama kali saya menggarap mutu guru. Jikalau guru-guru mempunyai pengertian nilai, dan mempersiapkan diri lebih baik, anak-anak akan melihat hal itu dan pendidikan mulai sukses.
(dari buku "Arsitek Jiwa 1" [Surabaya: Momentum])