Sejarah hubungan antara filsafat dain iman Kristen merupakan salah satu bidang sejarah yang paling kontroversial dan paradoks. Pendapat-pendapat bahwa filsafat adalah musuh Kristen mendapatkan banyak dukungan, sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu dipertentangkan dengan iman Kristen mendapat dukungan pula dari bapak gereja yang terpenting. Problema ini terletak pada apakah defenisi filsafat dan apakah filsafat yang benar. Jikalau kita mengategorikan filsafat ke dalam bidang pencarian kebenaran yang bersifat antroposentris dan bermetode spekulatif dan rasionil sedangkan iman kepercayaan lebih menyatakan diri sebagai teosentris dan bermetode revelatif yang bersifat inisiatif dari Allah sendiri di dalam kategori iman, maka kesulitan pertemuan antara keduanya adalah: apakah peranan rasio di dalam iman? Sampai di manakah keabsahan rasio menurut wahyu Tuhan?
Jikalau di dalam praanggapan seorang ahli sudah tidak percaya lagi bahwa Allah mewahyukan diri di dalam firmanNya, maka tentulah ia akan terterumus ke dalam kompromi iman Kristen dengan pikiran manusia, bahkan menunjung tinggi pikiran manusia melebihi firman. Sebaliknya, jikalau di dalam praanggapan seorang ahli justru Allah yang mewahyukan kebenaran karena Dia adalah sumber kebenaran, sedangkan manusia hanyalah ciptaan Allah dengan rasio untuk mengerti kebenaran, maka segala konflik antara kedua bidang ini tidak sulit diatasi.
Di dalam teologi Reformed, kepercayaan kepada kebenaran yang tidak terbatas di dalam diri Allah, serta keyakinan kemampuan rasio yang terbatas dan telah tercemar, mengakibatkan pengkategorian filsafat di bawah otoritas Alkitab merupakan suatu pengaturan yang wajar di dalam sistem epistemologi. Dan segala kesultian ini tidak perlu terjadi sebagaimana adanya.
Di dalam buku ini kita melihat bagaimana kesalahan filsafat abad pertengahan, yang memaksa untuk mengawinkan Aristotelianisme dengan iman Kristen, sehingga melucuti iman Kristen dari tempat yang seharusnya. Maka, motivasi Agustinus yang berusaha menjadikan filsafat sebagai budak perempuan (mermaid) teologi makin sulit tercapai. Akibatnya, timbullah teologi natural yang tidak mempunyai dasar kekal serta harus mengalami pukulan-pukulan dan serangan-serangan dari filsafat sekuler yang tidak habis-habisnya.
Kaum intelektual yang tertarik dan berkemampuan mempelajari filsafat seharusnya berhati-hati menanggapi dan mengintrospeksi pandangannya sendiri, sehingga tidak terlalu cepat terjerumus pada penghakiman terhadap iman Kristen dengan posisi dan pengertian yang pada akhirnya harus dihakimi oleh Tuhan Allah. Kiranya, setiap orang yang mencari kebenaran, menemukan Tuhan sebagai sumber dan pewahyu kebenaran. Amin.
(dari buku "Filsafat dan Iman Kristen II" [Surabaya: Momentum, 1996])