Kelima, 'kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub' - demikian Yakobus (5:11). Ayub adalah seorang yang mengindahkan suara hatinya, dan tabah dalam kemalangan. Suara hati tidak boleh diabaikan, tapi juga harus dibina oleh Roh Kudus (bukankah itu yang terjadi sewaktu Allah menanyai Ayub?). Bila kita tidak mendengarkan orang lain, kita tidak dapat menolong dia. Demikian juga halnya dengan kita, kita tidak akan dapat menolong diri kita bila kita tidak mengindahkan suara hati kita.
Keenam, hukum pembalasan dan pemusatan perhatian pada kesalahan harus dilihat dalam hubungannya yang lebih luas, yaitu dengan hukum kasih dan pemusatan perhatian pada kasih karunia. Alam semesta teratur secara moral, dengan demikian ada tempat untuk doktrin tentang ganjaran ilahi, tentang upah dan hukuman. Tapi ajaran itu dapat disalahgunakan sebagai menolak tuntutan persekutuan, dan mengacaukan makna ungkapan kasih karunia. Marilah kita perhatikan bagaimana dalam kitab Ayub Allah sendiri maju dari hukuman pembalasan ke hukum kasih karunia, dengan mengaruniakan kepada Ayub kehadiranNya. Demikian juga ajaran tentang kasih karunia mengubah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan teodise, dari suatu pencarian akan penyebab-penyebab pada masa lalu, ke pengharapan akan penebusan pada masa yang akan datang. Pertanyaan-pertanyaan Ayub yang berkaitan dengan teodise tidak dijawab; pertanyaan-pertanyaan itu diletakkan dalam hubungan yang lebih luas dan lebih pribadi, sehingga tidak perlu lagi dikemukakan.
Ketujuh, yang terpenting dalam kitab Ayub bukan khotbahnya atau teologinya juga bukan keyakinan orthodoks bahkan bukan ketulusan Ayub. Semuanya itu memang penting, tapi semuanya itu mendapat tempat hanya dalam hubungannya dengan hal yang teramat penting, yakni berjalan bersama Allah dalam persekutuanNya, menikmati Dia dalam duniaNya. Persekutuan dengan Allah adalah karunia Allah, yang dapat mendatangkan keuntungan dari penderitaan yang paling berat sekalipun.
Kedelapan, peristiwa penderitaan Ayub menopang dan memberi semangat kepada kita. Penderitaan pasti berakhir: tapi kapan, kita tidak tahu. Namun adalah pasti bahwa Tuhan akan datang, dan Ia akan mengubah 'luka kita menjadi peranti pemujaan kita' (ungkapan dikutip dari bab 39 dalam Julian of Norwich, 'A Revelation of Love').
(dari buku "Ayub")