Cara lain untuk merasakan pentingnya pertanyaan: Apakah ada kefasihan Kristen? ialah dengan membandingkan apa yang dikatakan orang mengenai dua tokoh besar dalam masa Kebangunan Besar pertama yaitu George Whitefield dan Jonathan Edwards. Kedua orang ini disatukan secara mendalam secara theologis, namun berbeda secara signifikan dalam cara mereka berkhotbah.
Pada musim semi 1740, George Whitefield berada di Philadelphia, berkhotbah di lapangan kepada ribuan orang. Benjamin Franklin menghadiri sebagian besar dari khotbah-khotbah itu. Franklin, yang tidak percaya pada apa yang dikhotbahkan Whitefield, mengomentari khotbah-khotbah yang ditata dengan sempurna itu:
"Penyampaiannya... begitu berkembang seiring pengulangan sehingga setiap aksen, setiap penekanan, setiap modulasi suara, dengan sempurna dibentuk dan ditempatkan, sehingga tanap berminat pada pokok bahasannya, orang mau tak mau merasa senang dengan penyampaiannya: kesenangan yang sama dengan yang diterima dari mendengarkan sajian musik yang sangat baik".
Inilah khotbah yang begitu fasih sehingga anda dapt menyukainya tanpa memercayai sama sekali apa yang dikatkaan di dalamnya. Dengan kata lain, kata-kata itu sendiri - pemilihan kata, pengaturan kata, dan penyampaian kata - begitu menyenangkan bagi Franklin, yang sama sekali tidak perduli dengan apa yang dimaksudkan oleh kata-kata itu sendiri. Franklin menyukai kefasihan Whitefield tetapi menolak salib.
[John Piper kemudian memberikan 2 kriteria dari 1 Korintus 1 untuk menilai kefasihan: merendahkan diri dan memuliakan Kristus yang tersalib]
(dari buku "Kuasa Kata-Kata dan Keajaiban Allah" [Surabaya: Momentum])