Kerendahan hati tidak memiliki keterkaitan dengan perasaan berhak untuk memperoleh perlakuan lebih baik daripada yang diterima Yesus Kristus.
"Jika tuan rumah dipanggil Beelzebul, apalagi seisi rumahnya" (Mat. 10:25). Itu sebabnya, kerendahan hati tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kerendahan hati tidak membangun kehidupan atas dasar hak-hak yang superfisial. "Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya... Ketika... Ia menderita, ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil" (1 Ptr. 2:21-23).
Mayoritas kemarahan dan sakit hati yang kita alami dalam berelasi bersumber dari asumsi bahwa kita berhak diperlakukan dengan baik. Namun seperti kata George Otis dalam sebuah pertemuan di Manila, "Tuhan Yesus tidak pernah menjanjikan sebuah pertarungan yang adil". Kita hendaknya mengantisipasi perlakuan buruk dan tidak perlu merasa marah jika kita mengalaminya. Akan tampak seperti inilah kerendahan hati itu. Rasul Petrus (1 Ptr. 2:21-23) dan rasul Paulus (Rm 12:19) memberi kita dukungan moral dalam melaksanakan tugas sulit ini dengan mengingatkan kita bahwa Allah akan menghakimi dengan adil dan ketidakadilan fana itu takkan disapu ke bawah kolong langit. Itu akan dihakimi - di atas kayu salib ataupun di dalam neraka. Kita tidak perlu menuntut balas. Kita diajar untuk memberi tempat kepada murka Allah.
(dari buku "Brothers, We Are Not Professionals" [Bandung: Pionir Jaya])