Kerendahan hati identik dengan pemahaman bahwa segala pengetahuan keimanan, kehidupan dan tindakan itu bergantung kepada anugerah. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang memegahkan diri" (Efe. 2:8-9). "Dan apakah yang engkau punyai yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri seolah-olah engkau tidak menerimanya?" (1 Kor. 4:7). "Atas kehendakNya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita pada tingkat yang tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaanNya... Terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu" (Yak. 1:18, 21).
Mungkin ilustrasi paling tepat dalam Alkitab yang menjelaskan relasi antara memegang erat kedaulatan Allah dan melepaskan arogansi yang tercatat dalam Yakobus 4:13-16. Di sini Kitab Yakobus menuliskan bahwa apa yang kita yakini sebagai pemeliharaan Allah yang menyeluruh termasuk hal-hal yang mendasar terkait rencana harian kita, akan menunjukkan apakah kita 'arogan'.
Jadi sekarang, hai kamu yang berkata 'Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapatkan untung', sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang kelihatan sebentar saja lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: 'Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu'. Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah" (Yak. 4:13-16).
Jadi, kerendahan hati identik dengan melakukan yang sebaliknya. Kerendahan hati berarti menaklukkan momen demi momen kepada kontrol kedaulatan Allah atas rutinitas kehidupan kita, dan dengan tenteram menempatkan diri kita dalam ketetapan hikmat Allah Sang Pengasih yang teguh sekaligus lembut itu.
(dari buku "Brothers, We Are Not Professionals" [Bandung: Pionir Jaya])