Kerendahan hati berawal dari perasaan takluk kepada Allah di dalam Kristus.
"Seorang murid tidak lebih daripada gurunya, atau seorang hamba daripada tuannya" (Mat. 10:24). "Rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat" (1 Ptr. 5:6).
Inilah faktanya: Allah ada di atas. Kita ada di bawah. Kita tidak layak bahkan untuk sekadar melepaskan ikatan tali sepatuNya. Jarak antara Allah dengan kita adalah mutlak. KeagunganNya, kuasaNya, hikmatNya, keadilanNya, kebenaranNya, kekudusanNya, kemurahanNya dan berkatNya, mengatasi keberadaan kita, setinggi langit dari bumi.
Selain fakta bahwa Allah ada di atas dan kita di bawah, ada perasaan tulus terhadap fakta tersebut. Selain kebenaran, ada pengertian sekaligus perasaan terhadap kebenaran tersebut. Ini sama krusialnya dengan pengetahuan tentang kebenaran itu. Apakah kita merasakan adanya jarak yang terbentang di antara Allah yang ada di atas dengan diri kita yang ada di bawah? Apakah kita menjadi rendah hati oleh karena pemahaman itu, atau sebaliknya, kita justru menjadi sombong karena menyadari bahwa kita memiliki pemahaman itu. Oh, betapa halus kontaminasi kesombongan itu merangkak masuk.
(dari buku "Brothers, We Are Not Professionals" [Bandung: Pionir Jaya])