Sebelumnya hermeneutika (penafsiran) tidak pernah secara serius mempertimbangkan kekuatan pembaca dalam menghasilkan pemahaman. Perihal membaca adalah memahami terlalu sering menjadi anggapan umum, khususnya setelah pembacaan akal sehat Skotlandia memberikan kesan bahwa kita semua memiliki kemampuan untuk menafsirkan secara otomatis apa yang kita baca. Akan tetapi hal itu tidak benar.
Setiap orang dalam menafsirkan, membawa seperangkat pra-pemahaman, yaitu keyakinan-keyakinan dan ide-ide yang diwariskan dari latar belakang orang itu, dan paradigma komunitas. Kita jarang sekali membaca Alkitab untuk menemukan kebenaran; kita lebih sering berusaha untuk menyelaraskannya dengan sistem keyakinan kita dan melihat maknanya di dalam terang pemahaman sistem theologi yang telah kita miliki sebelumnya. Sebenarnya ini tidak sepenuhnya buruk.
Prapemahaman ini menyediakan seperangkat pemahaman yang memampukan kita untuk memahami apa yang kita baca. Dalam pengertian ini kita adalah penafsir 'respons pembaca'. Masalahnya adalah prapemahaman kita terlalu mudah menjadi prasangka, seperangkat asumsi-asumsi yang dipegang sebelumnya yang membentuk pola bagi Kitab Suci dan membuat Kitab Suci menyesuaikan diri dengan konsep-konsep yang telah dipahami sebelumnya tersebut.
Jadi, kita perlu 'mengurung' ide-ide ini sampai pada suatu taraf dan mengizinkan teks masuk lebih dalam atau adakalanya menentang dan bahkan mengubah ide-ide yang telah terbentuk sebelumnya tersebut. Sebagai pembaca, kita ingin menempatkan diri kita di hadapan teks (dan mengizinkan teks tersebut berbicara kepada kita) ketimbang di belakang teks (dan memaksa teks tersebut berbicara apa yagn kita inginkan.
Latar belakang dan ide yang dimiliki pembaca sebelum membaca teks itu penting di dalam mempelajari kebenaran Alkitab; akan tetapi hal tersebut harus digunakan untuk mempelajari makna daripada menciptakan makna yang sebenarnya tidak ada dalam teks.