Karena karakter moral Allah tidak berubah (Maleakhi 3:6; Yakobus 1:17) maka kewajiban-kewajiban moral yang berasal dari naturNya itu bersifat mutlak. Maksudnya adalah kewajiban-kewajiban tersebut selalu mengikat setiap orang di mana-mana. Tentu saja, tidak setiap kehendak Allah harus berasal dari naturNya yang tidak berubah. Ada beberapa hal yang pada dasarnya sesuai dengan naturNya tetapi dengan bebas mengalir dari kehendakNya. Misalnya, Allah memilih untuk menguji ketaatan moral Adam dan Hawa dengan melarang mereka untuk makan buah dari pohon tertentu (Kej. 2:16-17). Meskipun secara moral Adam dan Hawa bersalah karena tidak menaati perintah itu, kita tidak lagi diikat oleh perintah tersebut saat ini. Perintah tersebut didasarkan pada kehendak Allah...
Di lain pihak, perintah Allah untuk tidak membunuh (Kej. 9:6) berlaku sebelum hukum tersebut diberikan kepada Musa, di bawah hukum Musa (Keluaran 20:13) dan juga semenjak zaman Musa (Roma 13:9). Singkatnya, pembunuhan itu keliru di segala zaman, tempat, dan bagi semua orang. Hal ini benar karena manusia diciptakan menurut "gambar Allah" (Kej. 1:27; 9:6). Termasuk di dalamnya adalah keserupaan moral dengan Allah (Kol. 3:10; Yakobus 3:9). Dan apapun juga yang dapat ditemukan pada karakter moral Allah yang tidak berubah merupakan satu kemutlakan moral.
Termasuk di dalamnya adalah kewajiban-kewajiban moral seperti kekudusan, keadilan, kasih, sifat yang sebenarnya dan belas kasihan. Perintah-perintah lain yang berasal dari kehendak Allah, tetapi tidak harus berasal dari naturNya, itu sama-sama mengikat orang percaya, tetapi perintah-perintah tersebut tidak mutlak. Maksudnya adalah, perintah-perintah itu harus ditaati oleh orang yang menerimanya karena Allah yang menetapkannya, tetapi Dia tidak menetapkan perintah-perintah semacam itu bagi semua orang, di semua zaman, dan di segala tempat. Sebaliknya, kewajiban-kewajiban moral yang absolut mengikat semua orang di segala tempat.
(dari buku "Etika Kristen" [Malang: SAAT, 2000]).