Kita harus memerhatikan bahwa di tengah-tengah kerusakan natur, terdapat tempat bagi anugerah Allah; bukan anugerah yang menghapuskan kerusakan, tetapi yang mengekang kerusakan itu dari dalam... Jadi, Allah dengan providensiaNya mengekang penyimpangan natur, agar tidak terwujudkan ke dalam tindakan; tetapi tak menghapuskannya.
Selanjutnya adalah seni, baik yang halus maupun kasar. Kecermatan manusia juga tampak di dalam mempelajari semua seni ini karena kita semua memiliki bakat tertentu... Jadi, dengan alasan yang baik kita terpaksa harus mengakui bahwa awalnya [awal dari bakat atau talenta di dalam bidang seni] sudah dibawa sejak lahir di dalam natur manusia. Jadi, bukti ini jelas menyaksikan suatu pemahaman universal akan rasio dan pengertian yang secara alamiah tertanam di dalam manusia. Akan tetapi, keuniversalan dari kebaikan ini membuat setiap manusia harus melihatnya bagai anugerah umum Allah yang khas.
Kapanpun kita menjumpai perkara-perkara ini [kontribusi yang bernilai di dalam seni dan ilmu pengetahuan] di dalam diri para penulis sekuler, biarlah terang kebenaran yang bersinar dengan mengagumkan di dalam diri mereka mengajar kita bahwa pikiran manusia meskipun jatuh dan menyimpang dari keutuhannya, toh tetap berpakaian dan berhiaskan karunia-karunia Allah yang luar biasa. Jika kita menganggap Roh Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, maka seharusnya tidak menolak atau menghina kebenaran, kapan pun kebenaran itu muncul, kecuali jika kita ingin merendahkan Roh Allah. Karena dengan merendahkan karunia-karunia Roh, kita menghina dan melecehkan Roh itu sendiri.
(dari buku Anthony Hoekema, "Manusia: Diciptakan Menurut Gambar Allah")