Senin, 28 Januari 2013

Pdt. Stephen Tong: Menghadapi Kebutuhan Seks (1)

Celakalah orang yang hanya ingin menikmati seks tanpa cinta. Dia bagaikan binatang. Kita perlu membedakan dengan tegas (1) kasih seksual, (2) seks tanpa kasih, dan (3) kasih tanpa seks. Di dalam tingkatan kasih ini kita juga dapat melihat bagaimana (1) manusia yang indah memiliki cinta sebagai kekuatan pendorongnya; (2) manusias yang imoral hanya mau seks tanpa cinta; (3) manusia yang berkesempatan sedikit, memiliki cinta, tetapi tidak mungkin tidak memperoleh seks; (4) manusia yang biadab sekali ingin memuaskan seks tanpa pernah ada cinta.

Ada seorang duda yang sedemikian mengasihi istrinya sehingga tidak menikah lagi. Bagaimana dengan kebutuhan seksnya? Ada orang yang begitu cinta Tuhan, bekerja sebagai pelaut berbula-bulan terpisah dari istrinya dan tidak mau melacur. Bagaimana dengan kebutuhan seksnya? Ada orang yang karena kurang cantik atau sifatnya kurang disukai orang, sehingga tidak ada pria yang mau berpacaran atau melamar dia. Bagaimana dengan kebutuhan seksnya? Ada remaja yang masa puber terlalu pagi, sehingga di usia 12 tahun sudah mengerti semua hal tentang seks dan sudah memerlukan seks, tetapi dia masih ingin bersekolah sampai jenjang yang tinggi. Bagaimana dengan kebutuhan seks selama masa itu? Semua ini merupakan fakta yang tidak bisa kita pungkiri atau abaikan.

Di dalam memikirkan hal ini, kita harus pertama-tama melihat kombinasi relasi antara seks dan cinta di dalam diri manusia. Manusia berbeda dari malaikat dan binatang. Binatang bukan manusia, malaikat pun bukan manusia. Malaikat memiliki cinta tetapi tidak memiliki seks. Binatang memiliki seks tetapi tidak memiliki cinta. Binatang memiliki cinta yang bersifat naluri. Ini adalah cinta biologis yang hanya bertujuan untuk memelihara dan menjalankan tugas naturnya.

Ada satu peristiwa yang terjadi di kebun binatang Moskow tahun 1957. Saya heran mengapa ini terjadi di Moskow dan bukan di Amerika Serikat. Sebagai seorang rohaniawan, saya melihat bahwa ini adalah suatu cara Tuhan mengajar orang-orang yang atheis dan tidak mementingkan cinta kasih. Ada seekor anak gajah sakit keras. Ibunya begitu susah payah menjaganya dan tidak mau meninggalkan anaknya. Sekalipun telah diupayakan pengobatan sekuat mungkin, anak gajah ini tetap tidak tertolong dan mati. Ibu gajah itu begitu sedih. Selama tiga hari ibu gajah itu tidak mau makan. Lalu pad ahari ketiga, tiba-tiba ibu gajah ini bangkit dengan sangat marahnya lalu terjun membenturkan kepalanya ke batu berkali-kali sampai akhirnya mati bunuh diri.

Saya masih sangat muda ketika membaca kisah ini. Saya sungguh tidak bisa mengerti, bagaimana seekor gajah bisa mengerti cinta kasih yang dalam sementara manusia bisa begitu kejam dan tidak memiliki kasih sama sekali. Jikalau manusia sudah tidak lagi memiliki perasaan kasih kepada manusia lain, apakah dia masih disebut manusia?

Bersambung...

(dari buku "Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Seks Menuju Pernikahan")