Berkenaan dengan kenyataan bahwa Yesus mulai membicarakan penderitaan yang akan dialamiNya menjelang akhir hidupNya, kita sering cenderung untuk berpikir bahwa penderitaanNya di atas kayu salib merupakan penggenapan dari seluruh penderitaanNya. Tetapi sesungguhnya keseluruhan hidupNya adalah penderitaan.
Ia harus mengambil rupa seorang hamba, padahal Ia adalah Allah semesta langit. Ia yang tidak berdosa setiap hari harus berhubungan dengan manusia berdosa. HidupNya yang kudus harus menderita di dalam dunia yang terkutuk karena dosa. Jalan ketaatan menjadi milikNya bersamaan dengan jalan penderitaanNya. Ia menderita karena gangguan iblis yang datang berulang kali, dari kebencian dan ketidakpercayaan umatNya, dan dari perlawanan musuh-musuhNya.
Oleh karena Ia harus masuk ke dalam pemerasan anggur itu sendiri, kesendirianNya pastilah merupakan suatu tekanan bagiNya, dan rasa tanggung jawabNya menghancurkan. PenderitaanNya adalah penderitaan yang disadari, makin lama makin berat, semakin Ia mendekati akhirnya. Penderitaan yang dimulai sejak inkarnasi akhirnya mencapai titip puncak dalam 'pasio magna' (penderitaan terbesar) pada akhir hidupNya. Kemudian, murka Allah atas dosa segera menghambur ke arahNya.
(dari buku "Teologi Sistematika: Doktrin Kristus")