Senin, 23 Juli 2012

Gereja Berpolitik Praktis? Najis!

Menjelang pemilihan kepala daerah, anggota legislatif atau presiden, banyak pemimpin dari berbagai denominasi gereja atau organisasi lintas gereja mulai menyatakan dukungannya kepada kandidat tertentu. Apakah hal ini benar di mata Tuhan?

Banyak pemimpin gereja mendukung pasangan calon tertentu karena fasilitas di masa lalu, misalnya pemberian ijin gereja, atau  janji-janji di masa depan yang saling menguntungkan. Tidak selalu "keuntungan" itu dinikmati oleh gereja tetapi seringkali dinikmati oleh pribadi dari pemimpin gereja, seperti fasilitas uang atau nama dan gengsi karena dianggap bisa dekat dengan pejabat.

Tetapi apa yang dilakukan sesungguhnya tidak benar. Perhatikan alasan-alasan ini.

Pertama, gereja adalah milik Tuhan, domba-domba ditebus dengan darah Kristus yang sangat mahal. Gereja bukan milik pendeta atau majelis. Jadi pendeta tidak berhak "menjual" milik Tuhan dalam persekongkolan busuk itu.

Kedua, gereja didirikan untuk memuliakan Tuhan dan membangun jemaat bagi perkara-perkara kekekalan. Gereja tidak berurusan dengan perkara-perkara sementara seperti politik praktis dan bisnis.

Ketiga, keterlibatan dalam politik praktis akan mengacaukan fokus pelayanan. Sedangkan tanpa berpolitik praktis saja, banyak pelayanan sudah tidak bisa dikerjakan dengan maksimal. Apalagi dengan berpolitik praktis, maka banyak pemimpin dan majelis akan kehilangan fokus menggembalakan domba-domba dan memberitakan Injil.

Keempat, kesucian mimbar akan dicemari oleh motivasi dan agenda lain. Mimbar bukan lagi tempat memberitakan isi hati Tuhan tetapi agenda-agenda politik praktis untuk keuntungan segelintir rohaniawan dan politisi busuk.

Kelima, akan terjadi perpecahan dalam gereja. Bila pemimpin gereja mendukung seorang calon sedangkan dalam gereja terdapat pendukung dari berbagai calon maka bisa-bisa terjadi adu kampanye, debat dan perpecahan. Sedangkan tidak berpolitik praktis saja gereja sudah banyak perpecahan karena berbagai alasan, apalagi bila membawa partai dan politik praktis ke dalam gereja.

Keenam, keterlibatan gereja dalam politik praktis berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan baru. Bila pasangan calon yang didukung oleh gereja tidak terpilih, maka bisa-bisa pasangan yang terpilih akan menghambat proses perijinan gereja atau malah tidak bersikap ramah terhadap gereja.

Ketujuh, keterlibatan gereja adalah sebagaimana diungkapkan oleh mendiang Romo Mangun, yakni dalam politik moral, yakni memberikan teguran keras kepada pemerintah yang tidak benar.

Pribadi-pribadi orang percaya, sebagai warga negara, berhak memilih, dipilih atau mengampanyekan politik praktis tetapi gereja sebagai institusi milik Tuhan dan hamba Tuhan tidak boleh berpolitik praktis. Kalau seorang pendeta mau berpolitik praktis, biarlah ia meninggalkan pelayanan saja supaya tidak munafik. Sebab kemunafikan adalah kekejian di mata Tuhan.

Karena itu, jangan membiarkan tubuh Kristus "diperkosa" oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang tidak benar. Biarlah pemimpin gereja tidak membawa gereja ke dalam politik praktis!